Berawal Dari Tidur
Karya “Ratmanda”
Sebut saja aku Manda. Aku salah satu siswa SMA negeri ternama yang
terletak di Kab. Bulukumba biasa juga disebut sebagai Butta Panrita Lopi yang
dikenal sebagai daerah pengrajin perahu Pinisi. Aku bukanlah seorang anak yang
terlahir dengan keadaan sosial di atas rata-rata karena orang tuaku hanya
seorang penjual obat keliling yang pendapatannya di bawah jumlah harga belanja
tiap bulan keluargaku. Siang ini, aku berjalan menuju rumah yang diiringi nyanyian daun pepohonan saat angin memainkan nadanya. Tak memakan
waktu lama, tibalah aku di rumah dengan keringat bercucuran akibat sinar
mentari yang begitu terik. Di rumah kegiatanku seperti biasa, makan, membantu
orang tua dan mengerjakan tugas-tugas sekolah lalu tidur.
Pagi ini, aku
terbangun dengan wajah kusut akibat nyanyian bising dari alarm dan seketika aku
telah berada di kamar mandi. Tak butuh waktu yang lama untuk membersihkan
tubuhku ini lalu berpakaian dan aku kembali berjalan diiringi sinar mentari
pagi yang katanya sangat bermanfaat bagi kesehatan. Tak terasa, begitu cepat
aku telah sampai di sekolah namun langkah pertamaku melewati gerbang sekolah,
aku mendengar untaian kata-kata dari mulut sang pengejek. Diriku dikepung
gejolak emosi yang mengebu-gebu hingga ku tak sadar tanganku telah berada tepat
di wajah sang pengejek, perkelahian ini menarik perhatian dari siswa lain bahkan
membuat guru kesiswaan berlarian untuk memisahkan kami. Entah siapa yang
memulai, namun ejekan itu terus merambat dengan cepatnya sehingga hampir semua
warga sekolah mengetahuinya. Jam istirahat aku bertemu dengan Sandy, ia seorang
yang sangat baik kepadaku dan ia salah satu dari sebagian kecil orang yang
tidak ingin mengejekku. “Ah… Abaikan
saja apa yang mereka katakan, yang harus kamu lakukan hanyalah membuat mereka heran
dan terkagum kepadamu saat kamu melakukan apa yamg tidak bisa mereka lakukan, kata
Sandy ”. Aku hanya menganggukkan kepala. Jam pulang, tak terasa aku telah
berada di istana sederhanaku, tanganku mulai menari diatas kertas putih untuk mengerjakan
tugas-tugas yang begitu menumpuk hingga rasa lelah dan kantuk mulai
menghampiriku, tak kuatku menahannya karena alunan lagu dari genteng rumah yang
begitu merdu mengiringi rasa kantuk itu dan membuat penglihatanku gelap begitu
saja. Sekarang aku berada di Jakarta mengikuti sebuah lomba cipta karya sastra
dimana saat ini aku menjadi salah satu finalis yang mengikuti babak penilaian
terakhir untuk menjadi juara lomba akan tetapi saat itu aku merasakan belaian
tangan yang agak kasar karena begitu bekerja keras untuk menghidupi keluarga
kami akibatnya aku terbangun dari dunia yang ternyata hanya fana dan aku pun bergegas
mendirikan kewajiban sebagai muslim. Selesai shalat isya, aku melebarkan kedua
tanganku serta melantungkan bait demi bait harapan agar kejadian yang sempat
singgah dalam mimpiku dapat menjadi sebuah kenyataan. Malam ini, detak jarum
jam yang begitu setia menemaniku, benakku mulai berputar-putar di atas kepala
lalu melayang entah kemana arah yang ditujunya. Di dalam lamunan, aku kembali
mendengarkan bait puisi dari sebuah
bantal yang mengalun lembut terus menerus sehingga mengantarkanku ke dunia yang
begitu indah.
Kembali aku
terbangun dengan wajah yang begitu panik akibat kekeliruan yang kulakukan tadi
malam, ketika kulupa membuat alarmku bernyanyi dengan suara bisingnya. Sehabis
mandi, aku berlari menuju sekolah karena telat untuk mengikuti proses belajar
mengajar. Dengan perasaan tergesa-gesa dan lelah akhirnya sampai juga aku di
sekolah namun seperti yang tadi kuduga aku telat namun satpam sekolah masih
ingin berbaik hati untuk membiarkanku masuk sehingga aku terus berjalan menuju kelas tanpa dihukum. Dalam
perjalanan aku kembali diejek oleh sang pengejek, bahkan dinding-dinding sekolah
juga ikut tertawa melihatku yang memiliki status sosial yang dibawah kemiskinan
atau mungkin sebuah nama yang kumiliki membuatnya mengejekku. Memang aku seorang
laki-laki namun entah kenapa kedua orang tuaku memberikan nama itu kepadaku akan
tetapi tak ada dalam pikiranku untuk menggantinya karena
ini salah satu caraku menghargai kedua orang tuaku. Jam istirahat aku kembali
menemui sahabatku Sandy, ia memberikan informasi bahwa dalam rangka peringatan
hari Pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan lomba cipta
Cerpen SMA tingkat nasional. Dengan adanya kabar itu, aku mencari infomasi yang
berkaitan dengan lomba tersebut di salah satu warnet (warung internet) dengan
bermodalkan uang lima ribu rupiah yang kudapatkan saat aku membantu seorang penjual
yang ada didekat rumahku. Setelah mendapat apa yang kubutuhkan, aku kembali ke
rumah lalu mulailah aku membuat karya tulis cerpen yang sesuai dengan tema yang
telah ditentukan panitia. Beberapa hari berikutnya karyaku telah kelar namun
aku kebingungan mencari alat untuk mengetik karya yang telah kubuat dikarenakan
aku tidak memiliki laptop atau pun komputer. Dalam kebingungan, terdengar suara
yang tak asing lagi ditelingaku dari luar yang begitu keras sehingga menembus
dinding kamar yang menyebut namaku, seketika aku keluar dan melihat sahabatku
Sandy berada di depan pintu yang sedang ngobrol dengan ayah, tanpa basa-basi
langsung saja kupersilahkan masuk kedalam kamarku yang begitu sederhana dan
jauh dari kata mewah.“Hmm… Man, kamu jadi ikut lomba itu ya?”katanya setelah pintu
kamarku sudah tertutup rapat. Aku hanya mengangguk dengan wajah yang agak
murung, “ kamu kenapa?”. Tanyanya setelah memperhatikan raut wajahku. ”Hmm..
Begini San, sebenarnya aku sangat ingin mengikuti lomba ini tapi aku tidak
memiliki laptop untuk mengetik hasil karyaku kalau aku ke warnet pasti biayanya
mahal karena memakan waktu lama”. jelasku kepadanya. ”Ohh, tenang saja Man,
besok ke rumahku saja, aku punya laptop yang bisa kamu pinjam“. Tuturnya yang
begitu ikhlas untuk menolongku. Dengan wajah yang begitu gembira aku pun
mengucapkan terima kasih dan ia permisi untuk pulang ke rumahnya. Ke esokan
harinya dengan menaiki kendaraan tak bermesin peninggalan dari kakek, aku
menuju rumah Sandy melalui sebuah gang kecil yang penuh dengan keramaian
disertai suara-suara yang campur aduk entah dari mana asalnya. Dengan membawa
karya yang telah kubuat beberapa hari yang lalu serta tak lupa membawa karya
dan segala persyaratan yang diperlukan dalam mengikuti lomba yang diselenggarakan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan bermodalkan uang yang kupinjam
dari Sandy, aku mengirim karyaku ke panitia penyelenggara sambil menunggu hasil
pengumuman finalis yang akan lolos ke Jakarta untuk menceritakan ulang karya
cerpen yang telah dibuat.
Satu minggu
kemudian, tibalah pengumuman dari penyelenggara dan ternyata aku termasuk dalam
finalis yang lolos ke Jakarta. Dengan senang hati kuberitahu hal ini kepada Sandy
dan ia juga tersenyum bahagia saat mendengarnya. Keesokan harinya, lagi-lagi aku
meminta bantuannya untuk membuat proposal agar bisa mendapat biaya dari sekolah
untuk ke Jakarta ditemani oleh seorang guru pembimbing. Beberapa hari berikutnya,
aku berangkat dengan guru pembimbing dan setibanya disana langsung saja aku bergegas
menuju gedung tempat diselenggarakannya lomba serta menunggu giliran untuk
menceritakan ulang hasil karya yang telah kubuat. Tibalah giliranku untuk
tampil menceritakan ulang hasil karyaku, muncullah sesuatu yang membuatku
gemetar dikarena ini untuk pertama kali dalam hidupku namun dengan rasa percaya
diriku yang tinggi aku dapat mengendalikan diri dan berhasil melewati tantangan
ini.
Dua hari aku telah
berada di kota yang selalu hadir dalam mimpiku ini, tak lupa kupuaskan diriku
mengunjungi tempat-tempat bersejarah serta mengunjungi monumen nasional
(monas), monumem kebanggaan bagi warga Jakarta, khususnya. Warga Indonesia pada
umumnya. Hari ketiga yaitu hari penentuan juara satu, dua, dan tiga, kegelisah
serta rasa deg-degan yang menyelimuti diriku berharap agar dapat jadi juara. Sesuai
dengan harapan serta mimpiku, akhirnya aku mendapatkan juara dua sehingga membuatku
sangat bangga dengan hal ini. Setelah penerimaan hadiah aku kembali menikmati
keindahan suasana kota Jakarta dikarenakan hari ini terakhir bagiku berada
disini dan tak lupa aku memotret mobil-mobil yang berbaris dengan rapihnya
dibeberapa Jalan di Ibu Kota. Hari keempat aku kembali ke kampung halaman dan
hari itu bertepatan pada hari minggu sehingga keesokan harinya aku mengikuti
upacara bendera lalu Pembina Upacara menyebut namaku karena berhasil menjadi
juara dalam lomba cipta karya sastra yang diadakan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan sehingga membanggakan nama sekolah. Perasaanku sangat senang karena
mendapat tepuk tangan dari banyak siswa, termasuk siswa yang selalu mengejekku
serta kubiarkan mataku melirik kiri dan kanan, ternyata pohon-pohon juga ikut
bergembira saat aku bisa membuktikan kepada orang-orang yang selalu mengejekku,
walaupun aku berada dibawah garis kemiskinan tapi aku mampu membuat orang tua serta
sekolah bangga terhadapku.
Dengan prestasi
yang telah aku dapatkan, membuat banyak orang melupakan tentang ejekan yang
pernah dilontarkan kepadaku, bahkan dinding yang pernah menertawaiku…! Sekarang mulai tersenyum ramah padaku saat aku
berjalan disampingnya menuju kesuksesan selanjutnya….
Jangan Lupa Komentar nya yah..:):)