Kamis, 01 Januari 2015

Cerpen



Berawal Dari Tidur
Karya “Ratmanda”
Sebut saja aku Manda. Aku salah satu siswa SMA negeri ternama yang terletak di Kab. Bulukumba biasa juga disebut sebagai Butta Panrita Lopi yang dikenal sebagai daerah pengrajin perahu Pinisi. Aku bukanlah seorang anak yang terlahir dengan keadaan sosial di atas rata-rata karena orang tuaku hanya seorang penjual obat keliling yang pendapatannya di bawah jumlah harga belanja tiap bulan keluargaku. Siang ini, aku berjalan menuju rumah yang diiringi nyanyian daun pepohonan saat angin memainkan nadanya. Tak memakan waktu lama, tibalah aku di rumah dengan keringat bercucuran akibat sinar mentari yang begitu terik. Di rumah kegiatanku seperti biasa, makan, membantu orang tua dan mengerjakan tugas-tugas sekolah lalu tidur.
              Pagi ini, aku terbangun dengan wajah kusut akibat nyanyian bising dari alarm dan seketika aku telah berada di kamar mandi. Tak butuh waktu yang lama untuk membersihkan tubuhku ini lalu berpakaian dan aku kembali berjalan diiringi sinar mentari pagi yang katanya sangat bermanfaat bagi kesehatan. Tak terasa, begitu cepat aku telah sampai di sekolah namun langkah pertamaku melewati gerbang sekolah, aku mendengar untaian kata-kata dari mulut sang pengejek. Diriku dikepung gejolak emosi yang mengebu-gebu hingga ku tak sadar tanganku telah berada tepat di wajah sang pengejek, perkelahian ini menarik perhatian dari siswa lain bahkan membuat guru kesiswaan berlarian untuk memisahkan kami. Entah siapa yang memulai, namun ejekan itu terus merambat dengan cepatnya sehingga hampir semua warga sekolah mengetahuinya. Jam istirahat aku bertemu dengan Sandy, ia seorang yang sangat baik kepadaku dan ia salah satu dari sebagian kecil orang yang tidak ingin mengejekku. “Ah…  Abaikan saja apa yang mereka katakan, yang harus kamu lakukan hanyalah membuat mereka heran dan terkagum kepadamu saat kamu melakukan apa yamg tidak bisa mereka lakukan, kata Sandy ”. Aku hanya menganggukkan kepala. Jam pulang, tak terasa aku telah berada di istana sederhanaku, tanganku mulai menari diatas kertas putih untuk mengerjakan tugas-tugas yang begitu menumpuk hingga rasa lelah dan kantuk mulai menghampiriku, tak kuatku menahannya karena alunan lagu dari genteng rumah yang begitu merdu mengiringi rasa kantuk itu dan membuat penglihatanku gelap begitu saja. Sekarang aku berada di Jakarta mengikuti sebuah lomba cipta karya sastra dimana saat ini aku menjadi salah satu finalis yang mengikuti babak penilaian terakhir untuk menjadi juara lomba akan tetapi saat itu aku merasakan belaian tangan yang agak kasar karena begitu bekerja keras untuk menghidupi keluarga kami akibatnya aku terbangun dari dunia yang ternyata hanya fana dan aku pun bergegas mendirikan kewajiban sebagai muslim. Selesai shalat isya, aku melebarkan kedua tanganku serta melantungkan bait demi bait harapan agar kejadian yang sempat singgah dalam mimpiku dapat menjadi sebuah kenyataan. Malam ini, detak jarum jam yang begitu setia menemaniku, benakku mulai berputar-putar di atas kepala lalu melayang entah kemana arah yang ditujunya. Di dalam lamunan, aku kembali mendengarkan bait puisi  dari sebuah bantal yang mengalun lembut terus menerus sehingga mengantarkanku ke dunia yang begitu indah.
            Kembali aku terbangun dengan wajah yang begitu panik akibat kekeliruan yang kulakukan tadi malam, ketika kulupa membuat alarmku bernyanyi dengan suara bisingnya. Sehabis mandi, aku berlari menuju sekolah karena telat untuk mengikuti proses belajar mengajar. Dengan perasaan tergesa-gesa dan lelah akhirnya sampai juga aku di sekolah namun seperti yang tadi kuduga aku telat namun satpam sekolah masih ingin berbaik hati untuk membiarkanku masuk sehingga aku terus  berjalan menuju kelas tanpa dihukum. Dalam perjalanan aku kembali diejek oleh sang pengejek, bahkan dinding-dinding sekolah juga ikut tertawa melihatku yang memiliki status sosial yang dibawah kemiskinan atau mungkin sebuah nama yang kumiliki membuatnya mengejekku. Memang aku seorang laki-laki namun entah kenapa kedua orang tuaku memberikan nama itu kepadaku akan tetapi tak ada dalam pikiranku untuk menggantinya karena ini salah satu caraku menghargai kedua orang tuaku. Jam istirahat aku kembali menemui sahabatku Sandy, ia memberikan informasi bahwa dalam rangka peringatan hari Pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan lomba cipta Cerpen SMA tingkat nasional. Dengan adanya kabar itu, aku mencari infomasi yang berkaitan dengan lomba tersebut di salah satu warnet (warung internet) dengan bermodalkan uang lima ribu rupiah yang kudapatkan saat aku membantu seorang penjual yang ada didekat rumahku. Setelah mendapat apa yang kubutuhkan, aku kembali ke rumah lalu mulailah aku membuat karya tulis cerpen yang sesuai dengan tema yang telah ditentukan panitia. Beberapa hari berikutnya karyaku telah kelar namun aku kebingungan mencari alat untuk mengetik karya yang telah kubuat dikarenakan aku tidak memiliki laptop atau pun komputer. Dalam kebingungan, terdengar suara yang tak asing lagi ditelingaku dari luar yang begitu keras sehingga menembus dinding kamar yang menyebut namaku, seketika aku keluar dan melihat sahabatku Sandy berada di depan pintu yang sedang ngobrol dengan ayah, tanpa basa-basi langsung saja kupersilahkan masuk kedalam kamarku yang begitu sederhana dan jauh dari kata mewah.“Hmm… Man, kamu jadi ikut lomba itu ya?”katanya setelah pintu kamarku sudah tertutup rapat. Aku hanya mengangguk dengan wajah yang agak murung, “ kamu kenapa?”. Tanyanya setelah memperhatikan raut wajahku. ”Hmm.. Begini San, sebenarnya aku sangat ingin mengikuti lomba ini tapi aku tidak memiliki laptop untuk mengetik hasil karyaku kalau aku ke warnet pasti biayanya mahal karena memakan waktu lama”. jelasku kepadanya. ”Ohh, tenang saja Man, besok ke rumahku saja, aku punya laptop yang bisa kamu pinjam“. Tuturnya yang begitu ikhlas untuk menolongku. Dengan wajah yang begitu gembira aku pun mengucapkan terima kasih dan ia permisi untuk pulang ke rumahnya. Ke esokan harinya dengan menaiki kendaraan tak bermesin peninggalan dari kakek, aku menuju rumah Sandy melalui sebuah gang kecil yang penuh dengan keramaian disertai suara-suara yang campur aduk entah dari mana asalnya. Dengan membawa karya yang telah kubuat beberapa hari yang lalu serta tak lupa membawa karya dan segala persyaratan yang diperlukan dalam mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan bermodalkan uang yang kupinjam dari Sandy, aku mengirim karyaku ke panitia penyelenggara sambil menunggu hasil pengumuman finalis yang akan lolos ke Jakarta untuk menceritakan ulang karya cerpen yang telah dibuat.
            Satu minggu kemudian, tibalah pengumuman dari penyelenggara dan ternyata aku termasuk dalam finalis yang lolos ke Jakarta. Dengan senang hati kuberitahu hal ini kepada Sandy dan ia juga tersenyum bahagia saat mendengarnya. Keesokan harinya, lagi-lagi aku meminta bantuannya untuk membuat proposal agar bisa mendapat biaya dari sekolah untuk ke Jakarta ditemani oleh seorang guru pembimbing. Beberapa hari berikutnya, aku berangkat dengan guru pembimbing dan setibanya disana langsung saja aku bergegas menuju gedung tempat diselenggarakannya lomba serta menunggu giliran untuk menceritakan ulang hasil karya yang telah kubuat. Tibalah giliranku untuk tampil menceritakan ulang hasil karyaku, muncullah sesuatu yang membuatku gemetar dikarena ini untuk pertama kali dalam hidupku namun dengan rasa percaya diriku yang tinggi aku dapat mengendalikan diri dan berhasil melewati tantangan ini.
            Dua hari aku telah berada di kota yang selalu hadir dalam mimpiku ini, tak lupa kupuaskan diriku mengunjungi tempat-tempat bersejarah serta mengunjungi monumen nasional (monas), monumem kebanggaan bagi warga Jakarta, khususnya. Warga Indonesia pada umumnya. Hari ketiga yaitu hari penentuan juara satu, dua, dan tiga, kegelisah serta rasa deg-degan yang menyelimuti diriku berharap agar dapat jadi juara. Sesuai dengan harapan serta mimpiku, akhirnya aku mendapatkan juara dua sehingga membuatku sangat bangga dengan hal ini. Setelah penerimaan hadiah aku kembali menikmati keindahan suasana kota Jakarta dikarenakan hari ini terakhir bagiku berada disini dan tak lupa aku memotret mobil-mobil yang berbaris dengan rapihnya dibeberapa Jalan di Ibu Kota. Hari keempat aku kembali ke kampung halaman dan hari itu bertepatan pada hari minggu sehingga keesokan harinya aku mengikuti upacara bendera lalu Pembina Upacara menyebut namaku karena berhasil menjadi juara dalam lomba cipta karya sastra yang diadakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sehingga membanggakan nama sekolah. Perasaanku sangat senang karena mendapat tepuk tangan dari banyak siswa, termasuk siswa yang selalu mengejekku serta kubiarkan mataku melirik kiri dan kanan, ternyata pohon-pohon juga ikut bergembira saat aku bisa membuktikan kepada orang-orang yang selalu mengejekku, walaupun aku berada dibawah garis kemiskinan tapi aku mampu membuat orang tua serta sekolah bangga terhadapku.
            Dengan prestasi yang telah aku dapatkan, membuat banyak orang melupakan tentang ejekan yang pernah dilontarkan kepadaku, bahkan dinding yang pernah menertawaiku…! Sekarang  mulai tersenyum ramah padaku saat aku berjalan disampingnya menuju kesuksesan selanjutnya….


Jangan Lupa Komentar nya yah..:):)
                                                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar